“ Perceraian bukanlah sikap egois saya terhadap anak-anak saya. Perceraian
adalah wujud kasih sayang saya kepada mereka, agar mereka tidak tumbuh dalam
kemarahan dan caci maki orang tuanya.”
- Chantal Della Concetta –
Tulisan ini
saya buat bukan untuk membenarkan sebuah perceraian, tapi ditujukan untuk
berbagi opini dan pengalaman hidup saya pribadi. Butuh keberanian besar bagi
saya untuk menceritakan pengalaman yang bisa dikatakan pahit ini. Namun,
kata-kata Mba Chantal diatas, menguatkan tekad saya untuk membagikannya ke
publik.
Sebagian besar
orang berpendapat bahwa perceraian pasti membawa dampak buruk bagi anak korban
perceraian orang tuanya. Saya tidak menampik hal tersebut. Namun, terkadang
paradigma ini membuat masyarakat memandang sebelah mata anak-anak korban
perceraian. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan. Tidak jarang, seorang
guru yang menghadapi siswa nakal akan mengeluarkan statement ‘anak
broken home’ untuk kenakalan yang ditimbulkan oleh siswa tersebut. Namun,
ketika seorang anak broken home mampu mencetak prestasi, tak sekalipun
statusnya sebagai anak broken home disebut-sebut.
Saya adalah
anak korban perceraian. Orang tua saya berpisah ketika saya masih berumur 10
tahun dan abang saya berumur 15 tahun. Apakah saya merasa minder? Apakah saya
merasa sedih? Ya. Jawabannya YA, saya merasa minder dan sedih, tapi bukan
karena orang tua saya, melainkan karena statement masyarakat kala itu.
Setiap kali
saya bermain ke rumah teman saya yang ibunya juga berteman dengan ibu saya, mereka
selalu bertanya “Ayah pernah pulang?” “Ayah kemana?” “Pernah ketemu ayah selama
ini?” bahkan pertanyaan paling ekstrim untuk anak berumur 10 tahun “Ayah sama
bundanya kenapa?”
Dear ibu-ibu yang pernah bertanya kepada saya dulu, tidakkah
pertanyaan tersebut sebenarnya anda sudah mengetahui jawabannya? Lalu kenapa
ditanyakan lagi kepada seorang anak kecil? Tahukan anda dampak negatif apa yang
anda timbulkan dari “keisengan’ anda tersebut? Kejatuhan mental seorang anak
yang merasa tidak punya keberanian menghadapi dunia luar karena ketidaklengkapan
keluarganya.
Bahkan mereka
yang bertanya pertanyaan-pertanyaan itu kepada saya dengan gamblang menjelaskan
perihal saya adalah anak broken home dengan orang lain yang ditemuinya. “dia
anak broken home, ayahnya udah pisah dengan bundanya” di depan batang hidung
saya.
“ Kasian dia, kurang kasih sayang karena orang tuanya udah pisah”. Dan
masih banyak statement-statement lainnya.
Saya, sebagai
anak broken home, ingin mengatakan pada dunia bahwa saya tidak pernah
merasa kekurangan kasih sayang. Tidak sedikitpun. Ibu saya adalah seorang ibu
dan ayah buat saya. Bunda, begitulah saya memanggilnya, telah memberikan kasih
sayang yang berlimpah hingga saya tidak pernah merasa saya butuh sosok seorang
ayah. Bunda seorang guru dan wanita karier yang aktif hampir bisa dikatakan
sibuk. Tapi saya tidak pernah kehilangan kasih sayangnya. Saya juga tidak setuju
dengan paradigma yang mengatakan bahwa ibu rumah tangga lebih menyayangi
anaknya karena rela mengorbankan kariernya demi menjaga buah hatinya di rumah. Seolah-olah
wanita karier tidak rela mengorbankan kariernya hanya demi anaknya. Dunia tidak
sesempit pikiranmu, kawan!
Banyak hal yang
membuat wanita ‘terpaksa’ untuk bekerja. Wanita pekerja mengalami tingkatan
stres 2 x lipat dari ibu rumah tangga. Memiliki tanggung jawab 2 x lebih besar
pada pekerjaannya dan juga statusnya sebagai ibu. Resiko menemui ajal lebih
cepat pun dialami oleh wanita pekerja.
Saya, sebagai
anak broken home, tidak pernah merasa menyesal terhadap perceraian orang
tua saya. Bagaimana mungkin kalian yang hanya sebagai penonton, berani
mengatakan bahwa bercerai adalah sikap egois mereka yang tidak memikirkan
tentang anaknya. Saya akan merasa sangat egois apabila saya memaksakan kehendak
saya agar mereka tetap bersatu, namun pertengkaran tiada henti akan terus
terjadi. Ibu akan terus merasa tertekan dan terintimidasi. Ayah akan selalu
malas pulang ke rumah yang bagai neraka untuknya. Kami akan selalu tidur dalam
keadaan takut ketika tiba-tiba rumah bergemuruh dengan teriakan kasar manusia. Kehidupan
seperti itukah yang kalian harapkan terjadi agar anak broken home bahagia?
Waktu itu umur
saya masih 10 tahun. Saya dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk mengutarakan
isi hati pada masyarakat. Tapi tidakkah mereka seharusnya malu pada anak
berumur 10 tahun yang justru berfikir lebih dewasa dari mereka.
Saya tidak
pernah membenarkan sebuah perceraian. Apalagi sampai menganjurkannya. Saya hanya
ingin masyarakat membuka mata lebar-lebar, bahwa kejatuhan mental anak-anak broken
home adalah karena perlakuan masyarakat
terhadap mereka selama ini, bukan karena perceraian itu sendiri. Mungkin
memang ada orang tua yang setelah bercerai tidak memperdulikan anaknya, bahkan
masih banyak kita temui orang tua yang tidak bercerai pun memang tidak perduli
pada anaknya. Itu kembali pada individu, bukan perceraiannya.
Bunda adalah
seorang single parent yang membesarkan anak-anaknya dengan tangannya
sendiri tanpa bantuan orang lain. Mungkin saya kehilangan atau bahkan tidak
mendapat sosok ayah dalam keluarga. Namun, saya sedikit merasa bersyukur karena
tidak perlu merasakan amarah seorang ayah ketika anaknya berbuat salah. Tangisan
dan airmata Bunda sudah cukup membuat saya bersumpah untuk tidak melakukan
kesalahan yang sama sehingga menyebabkan beliau menangis.
Anak broken
home selalu dikaitkan dengan nakal dan bandel. Saya tidaklah cocok untuk dijadikan
contoh utuk menghapus stigma tersebut. Karena saya bukan siapa-siapa, hanya pernah
mendapat juara 1 ketika SMP kelas 1 dan kelas 3 saja. Pun saya hanya lulusan
Magister Pendidikan universitas dalam negeri. Abang saya contoh yang cocok
untuk menghapus stigma bandel dan nakal bagi anak broken home. Dia seorang
IT consultant lulusan
Belanda dengan beasiswa. Pernah bekerja sebagai IT manager di salah satu
bank dan hotel di Indonesia, tidak merokok, apalagi memakai narkoba, Muslim
taat, dan sudah menikah (maaf bagi yang sedang mencari calon suami). Yang ingin
saya tekankan adalah tidak harus menjadi anak broken home untuk
melakukan seks bebas, tidak harus menjadi anak broken home untuk menjadi
gembong narkoba.
Kembali ke
persoalan perceraian. Kita tidak bisa mencegah perceraian terjadi pada keluarga
orang lain. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah memberi dukungan
moral pada anak-anak korban perceraian agar mereka tidak merasa berbeda atau
dibeda-bedakan. Bukan dengan cara mengasihani mereka, tapi dengan cara memberi
kesempatan pada mereka bahwa mereka adalah anak normal yang mendapat kasih
sayang dari orang tuanya. Stop bertingkah seolah-olah anak kita adalah anak
yang paling berlimpah kasih sayangnya dari kita. Atau malah kita terlalu sibuk mengurusi
urusan anak broken home, sampai terkadang kita lupa bahwa ada anak-anak
yang harus kita curahkan banyak kasih sayang.
Saya, sebagai
anak korban perceraian, merasa bangga bahwa Allah memilih saya menghadapi ujian
ini sejak saya masih kecil. Menempa saya menjadi pribadi kuat dan tangguh,
bertoleransi untuk kebahagiaan kedua orang tua saya, membuat saya belajar untuk
memiliki jiwa besar. Saya percaya, anak-anak korban perceraian di luar sana
juga sedang ditempa jiwanya menjadi sosok tabah, kuat dan tangguh. Mereka hanya
perlu dukungan dan kasih sayang orang-orang di sekitarnya. J Tidaklah mudah menghadapi cobaan yang mereka hadapi, jangan
membuatnya semakin berat dengan asumsi dan pikiran konyol kita terhadap mereka.
Saya, sebagai anak broken home, bersyukur untuk apa yang terjadi di masa
lalu, dan berterima kasih untuk apa yang saya miliki saat ini.
Great.. Tidak mudah membongkar kehidupan masa lalu. ini menjadi sebuah pelajaran berharga untuk selalu menghormati kehidupan orang2 sekitar kita
BalasHapusTerima kasih... memang berat, tapi harus mencoba merubah stigma yg ada selama ini.. :)
HapusAlur cerita kental dengan justifikasi akan sebuah tindakan yang kelak diambil, hal tersebut terkonfirmasi dengan menyajikan sosok anak yang berhasil meskipun dibesarkan dalam lingkungan keluarga broken home.
BalasHapusTerima kasih pak prabu suleman sudh mampir utk membaca..
HapusNih blogku abhie-institute.blogspot.com, masih dalam tahap pengembangan, sehingga gadget dan widget blog masih belum tertata rapi... hehehehhe
BalasHapus