Senin, 05 September 2016

BROKEN HOME



“ Perceraian bukanlah sikap egois saya terhadap anak-anak saya. Perceraian adalah wujud kasih sayang saya kepada mereka, agar mereka tidak tumbuh dalam kemarahan dan caci maki orang tuanya.”
- Chantal Della Concetta –

Tulisan ini saya buat bukan untuk membenarkan sebuah perceraian, tapi ditujukan untuk berbagi opini dan pengalaman hidup saya pribadi. Butuh keberanian besar bagi saya untuk menceritakan pengalaman yang bisa dikatakan pahit ini. Namun, kata-kata Mba Chantal diatas, menguatkan tekad saya untuk membagikannya ke publik.
Sebagian besar orang berpendapat bahwa perceraian pasti membawa dampak buruk bagi anak korban perceraian orang tuanya. Saya tidak menampik hal tersebut. Namun, terkadang paradigma ini membuat masyarakat memandang sebelah mata anak-anak korban perceraian. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan. Tidak jarang, seorang guru yang menghadapi siswa nakal akan mengeluarkan statement ‘anak broken home’ untuk kenakalan yang ditimbulkan oleh siswa tersebut. Namun, ketika seorang anak broken home mampu mencetak prestasi, tak sekalipun statusnya sebagai anak broken home disebut-sebut.
Saya adalah anak korban perceraian. Orang tua saya berpisah ketika saya masih berumur 10 tahun dan abang saya berumur 15 tahun. Apakah saya merasa minder? Apakah saya merasa sedih? Ya. Jawabannya YA, saya merasa minder dan sedih, tapi bukan karena orang tua saya, melainkan karena statement masyarakat kala itu.
Setiap kali saya bermain ke rumah teman saya yang ibunya juga berteman dengan ibu saya, mereka selalu bertanya “Ayah pernah pulang?” “Ayah kemana?” “Pernah ketemu ayah selama ini?” bahkan pertanyaan paling ekstrim untuk anak berumur 10 tahun “Ayah sama bundanya kenapa?”